Belum apa-apa, sebenarnya, hubungan antara Presiden SBY dengan Adnan Buyung Nasution itu sudah kurang bagus. Karena karakter keduanya tidak cocok. Kalau di kepercayaan tradisional Tiongkok tentang shio, mungkin bisa dikatakan shio kedua orang ini ciong (tidak cocok, menimbulkan kesialan). Adnan mempunyai karakter yang keras, tegas, blak-blakan, dan tanpa kompromi. Sedangkan SBY terkenal dengan kelambah-lembutannya, peragu, tidak percaya diri, melankolis, mementingkan pencitraan, kompromis, dan mudah tersinggung. Tetapi tetap dipaksakan agar keduanya bekerja sama, ketika Adnan diminta untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode pertama (2007-2009). Maka, tak heran terjadilah ketidakcocokan di antara mereka selama dalam periode tersebut. Yang kemudian terungkap luas ketika Adnan Buyung Nasution menerbitkan bukunya dengan judul Nasihat untuk SBY (Penerbit Buku Kompas, 2012). Terbitnya buku tersebut pun melahirkan perseteruan baru antara kubu SBY dengan Adnan. Pihak SBY marah dan tersinggung atas apa yang diungkapkan oleh Adnan di buku tersebut. Adnan dinilai telah melanggar UU tentang Wantimpres, yang melarang setiap anggotanya menyebarluaskan isi nasihat Wantimpres kepada siapapun juga. Selain itu Adnan dinilai telah berperilaku tidak etis.
Di awal start saja ketika Adnan diminta untuk bersedia bergabung dalam tim Wantimpres sudah ada tanda-tanda ketidakcocokan tersebut. Kesan itulah yang bisa didapat ketika kita membaca buku Nasihat untuk SBY itu.
Awalnya, Adnan yang waktu itu (Jumat, 21 Maret 2007) berada di Singapura, ditelepon oleh Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab) Indonesia Bersatu, Sudi Silalahi. Sudi memberitahu kepada Adnan bahwa Presiden akan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang beranggota sembilan orang. Salah satunya adalah Adnan untuk Bagian Hukum.
Adnan mengaku kaget namanya dimasukkan begitu saja oleh Presiden SBY, tanpa menanyakan lebih dulu kepadanya. Adnan tambah kaget, ketika Sudi mengatakan lagi bahwa besoknya, Presiden SBY akan langsung mengumumkan nama-nama tersebut. Surat Keputusannya sudah dibuat.
Adnan pun protes, tidak terima. Dia bilang, tidak bisa begini caranya. Dia harus bertemu dulu dengan Presiden, untuk mengetahui terlebih dulu apa visi dan misi Presiden SBY tentang Wantimpres itu. Setelah itu baru bisa dia mengambil keputusan, terima atau tidak jabatan itu.
Sudi membujuk, “Begini saja Bang, nama Abang sudah dimasukkan di dalam SK yang akan diumumkan besok, hari Sabtu. Boleh tidak kita umumkan saja dulu nama Abang? Nanti setelah Sabtu baru kita atur pertemuan dengan Presiden.”
Adnan menolak usulan yang bernuansa formalitas seperti itu. Dia merasa di-fait a compli. Dia tetap bersikeras untuk bertemu dulu dengan Presiden SBY. “Baiklah, nanti saya bicara dulu dengan Bapak Presiden,” kata Sudi mengalah.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Sudi telepon lagi. Kata dia, SBY bersedia bertemu dengan Adnan pada Senin, 24 Maret 2007 (Adnan pulang ke Indonesia pada Minggu, 23 Maret 2007), tetapi SBY tetap meminta Adnan menyatakan bersedia dulu untuk menerima jabatan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden karena SK-nya sudah dibuat, dan akan diumumkan keesokan harinya.
Adnan tetap tidak mau. Penjelasan Sudi ini pada intinya sama saja dengan sebelumnya. Hanya kalimatnya saja yang berbeda.
“Tidak bisa Sudi, Abang tidak mau fait a compli begitu. Abang merasa dipaksa tanpa tahu visi dan misi Presiden. Kalau sudah diumumkan ternyata Abang tidak setuju, bagaimana? Nanti nama Abang jelek. Serba sulit nantinya. Abang tidak mau. Bilang saja kepada Presiden, Abang tidak bersedia kalau caranya begitu. Lebih baik tidak usah saja dimasukkan nama Abang.”
Sudi menyerah. Telepon yang ketiga masuk, kali ini Sudi mengatakan kepada Adnan bahwa Presiden SBY sendiri yang bicara langsung dengannya.
Presiden SBY menjelaskan kepada Adnan tentang latar belakang dan maksudnya membentuk Dewan Pertimbangan Presiden itu, serta membujuk Adnan agar bersedia menjadi anggotanya, yang akan diumumkan keseokan harinya. “ … Saya mohon Bang Buyung bersedia menjadi anggotanya. Abang ‘kan tokoh yang amat kami hormati. Saya sudah kenal Abang begitu lama, sebagi pejuang dan aset bangsa kita.”
Tetapi Adnan bergeming. Dia tetap bersikukuh dengan prinsipnya bahwa dia harus bertemu empat mata dengan Presiden SBY terlebih dahulu (di Jakarta), agar bisa tahu cocok atau tidak. “Jangan sampai saya menerima suatu jabatan tapi tidak cocok, lalu kita berantem,” kata Adnan.
Ternyata, meskipun kelak sudah bertemu empat mata, dan sudah jelas visi dan misi Presiden SBY membentuk Wantimpres itu, tetap saja mereka berdua berantem. Karena rupanya, SBY mengkhianati sendiri visi dan misinya itu. Sekarang, perseteruan mereka bertambah seru lagi, dengan terbitnya buku Nasihat untuk SBY itu.
Setelah tak berhasil membujuk Adnan. Presiden SBY pun mengalah, dan bersedia menunda pengumuman pembentukkan Wantimpres berserta nama anggota-anggotanya itu, sampai setelah ada pertemuannya dengan Adnan Buyung Nasution.
Sepulangnya dari Singapura, kembali ke Tanah Air, Adnan masih meminta masukkan dari keluarganya, dan lawyers di Adnan Buyung Nasution and Partners (ABNP) tentang permintaan Presiden SBY iru. Dia juga meminta asistennya, Ali Nurdin untuk mengumpulkan data-data tentang Dewan Pertimbangan Presiden itu. Guna dipakai dalam dskusi pertemuannya dengan SBY kelak.
Setelah tertunda beberapakali, akhirnya Adnan bertemu juga dengan Presiden SBY di Istana Negara, pada Rabu, 28 Maret 2007. Seperti permintananya, pertemuan tersebut hanya dilakukan di antara mereka berdua. Empat mata. Dalam pertemuan itu SBY menjelaskan panjang lebar tentang visi dan misinya membentuk Wantimpres itu. Sesudah mendapat penjelasan itu, Adnan memutuskan menerima tawaran SBY itu. SBY menjabat tangannya erat-erat, memeluknya dan cipika-cipiki pun terjadi. Besoknya, Kamis, 29 Maret 2007, Presiden SBY mengumumkan pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden berserta nama-nama sembilan anggotanya.
Baru saja pengumuman itu disampaikan, datanglah undangan kepada Adnan Buyung Nasution dari Andi F. Noya untuk mengisi acara Kick Andy di Metro TV. Acara tersebut direkam terlebih dahulu sebelum ditayangkan dua minggu kemudian.
Di dalam acara Kick Andy yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaannya yang kritis, spontan, dan penuh kejutan itu terlontar pertanyaan pertama dari Andi Noya yang langsung membuat Adnan merasa terpojok, “Bang Buyung oleh publik Abang dikenal selama puluhan tahun berjuang di luar struktur pemerintahan, kenapa sekarang Abang mau masuk, padahal ibarat kapal, pemerintahan sekarang yang nahkodanya SBY sudah mau karam, kok Abang malah masuk?”
Adnan menjawab, “ Memang benar, selama ini saya berjuang dari luar, memberikan kritik, komentar, masukkan, bahkan berdemonstrasi. Sekarang saya diminta masuk ke dalam pemerintahan yang bagai kapal yang hampir karam, justru karena saya merasa wajib masuk untuk menyelamatkannya. Saya tidak tega dan tidak rela melihat kapal ini atau bahkan negara ini karam. Saya sebagai pejuang harus turun tangan membela kapal ini jangan sampai tenggelam, supaya kita bisa terus berlayar mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini dengan memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Diminta, maupun tidak diminta.”
Andi kemudan bertanya lagi, “Di dalam memberikan arahan kepada Kapten supaya kapal jangan tenggelam, kalau bentuknya nasihat, apa ukurannya nasihat Abang diterima atau tidak? Bagaimana Abang mengukur berhasil atau tidaknya nasihat Abang itu, atau percuma saja Abang memberi nasihat?”
Adnan menjawab begini, “ … Tidak ada parameter atau ukuran yang pasti. Taruhlah dengan berpikir sederhana, ada sepuluh point of interst kepentingan bangsa dan negara yang dipertaruhkan, dan saya memberikan nasihat. Kalau sembilan dari sepuluh nasihat saya diterima, berarti berhasil nasihat saya itu. Tetapi kalau dari sepuluh nasihat saya hanya satu yang diterima, berarti gagal, tidak ada gunanya saya kasih nasihat. Lebih baik saya keluar, saya cabut saja dari situ, buat apa saya ada di situ.”
Pernyataan Adnan Buyung Nasution yang saya jadikan huruf tebal itu kemudian dijadikan cuplikan untuk iklan acara Kick Andy itu itu setiap hari di Metro TV sebelum penayangannya. Iklan yang gencar dengan kutipan kalimat-kalimat yang keras dan pedas dari Adnan itu rupanya sampai di telinga Presiden SBY. Membuat telinganya memerah. SBY tidak terima. Dia tersinggung dan marah.
Lewat T.B. Silalahi, Adnan ditegur melalui telepon: “Bang, saya ini dekat dengan Presiden, saya tahu perasaannya terpukul sekali dengan pernyataan Abang itu. Abang ‘kan belum dilantik, belum mulai bekerja tapi sudah ngancam mau keluar, kenapa sih Abang begitu?”
“Lho, itu memang sikap Abang,” jawab Adnan tegas, “Abang mau masuk ke situ memang niatnya seperti itu. Mesti didengar dong nasihat kita. Kalau tidak, buat apa kita ada di situ, sama saja dengan DPA zaman dulu.”
“Tapi ‘kan belum dilantik, Abang sudah ngancam-ngancam mau keluar.”
“Bukan ngancam, tapi memberitahusikap Abang dari awal, supaya semua orang tahu. Menangnya kenapa? Apa salahnya?”
Adnan mengaku dia dengan T.B. Silalhi pun ribut, bertengkar di telepon gara-gara tayangan iklan Kick Andy itu.
Akhirnya, T.B. Silalahi bilang kepada Adnan, “Tolong, Bang, stop itu advertensinya, jangan terus-terusan!”
Tentu saja Adnan menolaknya, “Lho, tidak bisa. Bukan hak sayauntuk menghentikan, itu haknya pers, haknya Metro TV.”
Rupanya, pihak Istana belum mau menyerah. Ternyata SBY sangat gerah dengan ucapan keras Adnan itu. Tetapi seperti biasa, tidak berani bersikap tegas. Watak dan jurus Orde Baru pun dikeluarkan. Mereka pun menelepon Andy Noya untuk menghentikan iklan tersebut. Andi Noya menghubungi Adnan, minta pertimbangannya.
Adnan menjawab Andy, “Abang tahu, Abang tidak keberatan, kok. Bukan Abang yang minta dihentikan. Abang senang saja. Terserah kalianlah, bagaimana mengatasinya.”
Entah bagaimana cerita selanjutnya, yang pasti iklan acara Kick Andy dengan tokoh utamanya Adnan Buyung Nasutiuon itu tetap disiarkan terus-menerus. Sampai pada waktu acaranya ditayangkan. Rupanya, pihak Istana tidak berdaya untuk menaklukkan Andy Noya, atau lebih tepatnya Metro TV. Mungkin kalau pemilik Metro TV itu bukan Surya Paloh, ceritanya lain lagi. Tetapi, menurut Adnan inilah buah dari perjuangan reformasi terhadap kebebasan berekspersi yang tidak mampu ditaklukan oleh pemerintah lagi. Dalam momen-monen seperti ini mungkin pimpinan-pimpinan seperti SBY rindu dengan cara memerintah dengan sistem diktaor dan otoriter. Rindu dan ingin cara-cara rezim Orde Baru memeintah bisa diterapkan kembali.
Apabila Adnan tidak menulis buku Nasihat untuk SBY ini, kita tentu tidak bakal tahi kejadian-kejadian seperti ini. kejadian-kejadian yang membuat kita bisa menilai macam apakah rezim yang sedang memerintah sekarang ini. *** (sumber;kompas)