Langit Awangga senja itu tampak memerah, lembayung di ufuk barat tak mampu sajikan warna indah. Di taman keputren, Adipati Karna berdiri mematung. Beku. Ada amarah, meski tergulung dalam pasrah. Sebongkah besar batu hitam tampak terbelah. Pecah oleh luapan sakti sang ksatria yang tengah gundah.
“ Jadi, selama ini Kau hanya berpura-pura, Dinda Surtikanti?” suaranya bergetar dalam tanya yang telah ia yakin jawabnya.
“ Maafkan aku, Kanda. Hujamkan pusaka Kuntamu, jika itu membuatmu lega”, sang istri yang selama ini ia cintai sepenuh hati, unjukkan kata, tanpa air mata.
“ Kenapa kau begitu tega? Apa salahku?”
“ Kanda. Bukankah dulu, aku tak pernah berjanji padamu?”
“ Tapi, bukankah dulu Kau berkata, akan mencoba mencintaiku..?”
“ Iya, Kanda. Tapi sampai kini aku tak mampu”
“ Hanya Arjuna di hatimu?”
Surtikanti tak menjawab, hanya anggukan kepala. Kesiur angin lambaikan rikma panjang terurainya, tutupi wajah ayunya yang tertunduk lemah.
Adipati Karna tak mampu lagi tuk lanjutkan kata. Amarah yang ia redam melemparkan jiwa, yang meluncur deras pada jurang tak bertepian. Sangat dalam dan sunyi mencekam.
Seekor merpati putih ia lepaskan terbang ke awan yang mulai mengelam. Kukila itu telah datang membawanya pada sebuah kepedihan. Darinya, gulungan tulisan yang kini berada dalam genggaman istrinya. Isinya tentang keindahan rangkaian aksara. Syair-syair asmara sang Arjuna, pada istrinya.
***
Istana Amarta, pada malam berikutnya. Saat rembulan malam sayu tersaput ampak-ampak mega.
“ Ibunda, Aku tak tahu lagi, apa yang harus terjadi”, tukas Karna yang bersimpuh di kaki Sang Dewi Kunti.
“ Karna, anakku. Ibu tak tahu, apa yang harus kukatakan”
“Aku sungguh mencintai Surtikanti, Ibunda ”
“ Tapi cintanya hanya untuk Arjuna..”
“ Mohon bijaksana Ibunda, apa yang ada di hatimu?”
“ Mengalah pada adikmu”, suara Kunti lirih, namun mampu Karna dengar.
“ Terima kasih, Ibunda. Atas kejujuran hatimu”
***
Amarta tak mampu memberikan Karna kesejukan hati. Negeri di mana sang ibu dan saudara-saudaranya Pandawa ini ada, membalurkan sentuhan nelangsa tiada tara. Karna lunglai melangkah, dalam degup kecewa yang hampir tak menyisakan darah.
Raut wajah Karna mengelam, gigi gemeretak dalam rahang mengeras. “Pandawa, Arjuna, Ibunda,…oh.., akulah yang terlupa. Dan kini aku sadar, tak ada sedikitpun anggap sedarah. Aku hanya anak sais kereta..”
Dan kini adalah soal harga diri. Tentang suami, juga laki-laki.
“ Tapi Arjuna tetaplah adikku, dan istriku mencintainya “
Lalu Karna mantapkan langkah, menuju Ksatrian Madukara, tempat sang lelananging jagad, adiknya itu bertahta. Di tangannya terhunus tegas bilah cahaya senjata Kunta. Ia tahu, dengan sosok pusaka itu, Arjuna akan terpaksa meladeninya perang tanding. Dan ia mengharap panah Pasopati Arjuna segera mengakhiri deritanya, sebagai ksatria. Tanpa cinta.
***
Sejenak lagi langkah Karna akan tiba, di gerbang Madukara. Sosok bercahya tersenyum ramah, dalam balutan bijaksana hentikan langkahnya.
“ Sarungkan pusaka Kuntamu, Karna”
“ Kakang Kresna. Aku yakin engkau tahu, ini jalan kematian termulia untukku”
“ Iya, Karna. Aku mengerti, tapi bersabarlah hingga waktunya tiba”
“ Waktu?”
“ Yah, saat itu nanti akan tiba. Kau akan temukan cintamu”
“ Sudah pupus segala cinta untukku, Kakang”
“ Tidak. Cinta sejati akan menjemputmu nanti, juga kemuliaan”
“ Kapankah itu akan datang?”
“ Bharatayudha”
***
Dan pilihan untuk berpihak pada hitam atau putih, tak selalu berlandaskan hitam atau putihnya jiwa ksatria. Seperti Karna yang hanya mengharapkan cinta, dan berlaga untuk Kurawa yang memberinya harga, di padang Kurusetra itulah Karna temukan harga dirinya. Hingga ia pupus bersama cinta yang selalu menjadi mimpi tak berkesudahan. Saat Pasopati Arjuna yang terus dirindukannya, menancap di relung dada, lelehkan darah terakhir di medan laga. Darah cinta sang ksatria.
***
.
.
C.S.
Inspirasi: Mahabharata
0 komentar:
Posting Komentar