Menciptakan lapangan kerja lebih bermanfaat dan lebih baik daripada mencari kerja. Sepertinya terdengar idealis. Tetapi bagi Hotman, mantan wisudawan S1 tahun lalu, hal ini jauh dari realistis. Menciptakan lahan kerja, sedikit banyak diakui harus ada modal finansial, selain pengalaman bisnis yang tidak sebentar. Selama masa perkuliahan di teknik mesin, dia banyak nge-job sampingan bantu-bantu teman atau tetangga mereparasi barang elektronik atau barang lain yang bermesin. Bermodal ini saja rasanya tak cukup untuk berdikari seusai kuliah. Mau minta modal orang tua, selain sungkan, juga kondisi tak memungkinkan karena ekonomi mamak di Tapanuli sana pun sudah cukup menggeh-menggeh, dan separo periode kuliahnya ditanggung oleh abangnya. Apalagi mau mengajukan pinjaman di bank? Tentu saja bank ogah sekedar mendengarkan kicauan janji ataupun surat pernyataan bermeterai enam ribu rupiah. Sudah sangat bersyukur akhirnya dia bisa kelar juga, dan moment wisuda lumayan membungakan hati mamak dan almarhum bapak waktu itu
Mau tak mau Hotman memilih bergabung dengan khalayak sarjana lainnya, yang profesi pertama setelah melepas label mahasiswa, adalah menjadi pencari kerja. Hobi baru pun digelutinya, yakni berburu iklan lowongan kerja di koran, melototi papan pengumuman kampus almamater, dan tak pernah absen mencomot Klasika dari Kompas langganannya Bapak Kos. Bak irama yang berdenyut ritmik, siklus yang dia lalui adalah memfotokopi berkas-berkas persyaratan seperti ijazah, transkrip nilai, kartu kuning kemenakertrans, skck dari kepolisian, membuat surat lamaran, mengkoleksi amplop coklat seukuran kertas folio, memperbanyak pas foto, menyusun dalam amplop coklat besar dan membawanya ke kantor pos bergabung dalam antrian para pencari kerja lainnya. Harapannya semakin banyak memasukkan lamaran, peluang mendapat kerja semakin besar dan sesegera mungkin.
Ternyata strategi ini tak selamanya menguntungkan. Ketika surat lamaran pertama dilayangkan, kebetulan ditujukan untuk perusahaan swasta di luar Jawa yang tidak bonafit. Sekedar iseng-iseng berhadiah. Ternyata keisengannya memang membuahkan hasil, karena setelah melalui tes dan wawancara Hotman lolos dan diterima bergabung sebagai staf di perusahaan tersebut. Senang setengah hati, setengah senang karena untuk sementara bisa membuat lega hati mamak di kampung, setengah tak senang karena sebenarnya ini tak seperti yang dambakannya, tak sesuai dengan idealismenya. Masa bodoh dengan selera, yang penting sekarang tidak menganggur, hati ortu senang, karena si sapudan (anak bontot orang Batak) sudah berhasil mendapatkan sesuatu yang distandarkan oleh materi meski mengkibuli hati nurani.
Suara nurani ternyata begitu bising sehingga si Hotman tak betah juga bekerja di pedalaman Kalimantan yang sinyal telepon seluler saja kembang-kempis. Gara-gara ini juga, kabar meninggalnya bapak baru bisa sampai sehari kemudian. Aral tak mungkin disesali. Akhirnya dia resign dan kembali menyandang gelar jobseeker. Ternyata peluang menggenggam karir di perusahaan bonafit dambaannya telah lewat saat dia masih berdiam di Kalimantan sana. Tak beruntung nasibnya. Kendati sesal mendera, dia tak boleh jera melamar dan melamar lagi lowongan yang lain. Demi si mamak yang memimpikan anak bontotnya berseragam pegawai instansi, meski bakatnya adalah berwirausaha. Dan lagi mendapatkan pekerjaan tetap juga menjadi tiket untuk menghadap calon mertua guna melamar anaknya. Sekali lagi, dia harus mengabaikan idealisme dan menyumbat telinga hati terhadap kebisingan nurani supaya segera mendapatkan karir yang menjanjikan materi walaupun tak menikmati pekerjaan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar