PT. Freeport di Papua kembali mengucurkan dana lauk pauk kepada personil kepolisian senilai 14 juta US Dollar atau kurang lebih 140 miliar. Dana tersebut dikabarkan sebagai imbalan perusahaan kepada prajurit kepolisian untuk meningkatkan pengamanan perusahaan tersebut. Pemberian uang yang langsung diterima kepolisian yang bertugas di areal freeport seakan melanggar aturan negara. UU ( Undang-undang ) kepolisian N0.102 tahun 2002 tidak mengatur adanya pungutan atau pemberian uang “saku” kepada aparat negara yang bertugas, dengan tujuan demi menjaga integritas kepolisian dan keprofesionalisme penegak hukum. Namun, kenyataanya kebalikan. Pemberian uang sulap semacam itu dari freeport merupakan hal biasa dan sudah menjadi tradisi sejak perusahaan amerika berkaki di Indonesia ( Papua ).
karakteristik freeport dalam menjalankan usahanya di dunia, termasuk Papua, akan selalu mempraktekkan tiga hal. Peratama, untuk menopang kelancaran usahanya perusahaan selalu memberi kenyang sejumlah politisi di negara setempat. Peranan politisi dan penguasa menerima suap tersebut agar senantiasa membela dan menjaga keberadaan perusahaan. Kelompok elit kekuasaan; pemerintahan berkuasa, partai politik dan para tokoh bangsa tak luput dari tradisi “suap” yang dilakukan oleh freeport. Kriteria pemberian suap kepada komponen tersebut tidaklah sembarangan, tetapi budaya tutup mulut dilakukan walaupun rezim suatu kekuasaan tidak tahu sedang di ” kurung ” secara sistematis melalui berbagai fasilitas berupa materi maupun dukungan politik tertentu. Kejayaan Suahrto selama 32 tahun lebih dapat diduga bagian dari dukungan amerika sebagai ucapan terimaksih mereka karena mantan presiden tersebut menerima kehadiran freeport di Indonesia. Begitu pula rezim selanjutnya pasca almarhum orde baru itu. Lihat saja gelagat Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono sekarang tidak tegas soal freeport. Bentuk-bentuk lips service politik tidak saja berupa uang tapi juga berupa jabatan komisaris. Mantan menkuham dan ketua komnasham pun di rektrut menjadi komisaris di freeport.
Kedua, prilaku perusahaan untuk kasi makan moncong senjata. artinya pemberian dana ilegal diluar ketentuan UU negara, merupakan hal biasa dan tentunya sudah merupakan kewajiban freeport. Bagi kita pemberian dana lauk pauk melanggar ketentuan peraturan negara tentang polisi, tetapi bagi manajemen perusahaan freeport indonesia menjadi keharusan bahwa aparat harus dikasi makan agar mudah dikendalikan. Pemberian kepada serdadu “moncong senjata” tidak saja kepada lembaga atau institusi resmi negara, tetapi kepada kelompok mana saja yang nota bene pegang senjata dan bikin kacau perusahaan, baik gerombolan pengacau seperti premanisme maupun struktur teritorial negara yang tidak terkomando. Pasal 2 UU N0.102 Kepolisian mengenai Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan, keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Nah, polisi terima uang dari freeport bisa saja ditambah bahwa fungsi polisi juga terima uang dari perusahaan?
Karakteristik ketiga adalah membangun agen dilapisan rakyat. Berupa pendirian lembaga, sampai pada pendirian organisasi adat untuk kasus Papua. Tragis sekali bila kita menguarai cara kerja sistematis yang selama ini diterapkan oleh freeport agar tetap aman. Pengelompokan warga pemilik hak ulayat kedalam tujuh suku merupakan bikinan freeport semata agar mudah dikendali. Terhitung ada puluhan suku di sekitar freeport. Yang tercatat saja seperti; Amungme, Kamoro, Mee, Ekari, Nduga dan Moni. Sedangkan masih ada suku lain yang belum diakomodir, seperti Dani atau Lanni dan penduduk di tebing freeport punya suku tersendiri lagi. Berhasil mengelompokan masyarakat adat, perusahaan freeport juga disinyalir membangun kelompok lembaga swadaya masyarakat ( LSM-gadungan ) baik di Timika maupun diluar Papua. Sogok menyogok kepada aktivis HAM dan Lingkungan juga tak terelakkan dilakukan oleh freeport. Misal saja, Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ) pada tahun 1996 membekukan cabangnya di Papua karena terindikasi aktivis walhi mendapat dana gelap dari freeport.
Seperti demikianlah, bila dirunut dari belakang hingga sekarang, lingkaran setan yang dibentuk FI masih saja eksis. Dimulai dari para penguasa, militer dan masyarakat sipil sudah menjadi tradisi yang terus dilakukan selama beroperasinya suatu freeport di wilayah mana dia ber-tambang. Lebih mengerikan lagi yang terjadi sekarang. Manajemen perusahaan justru cepat mencairkan dana keamanan ditengah tuntutan kenaikan upak pekerja yang sampai sekarang memblokir jalur di freeport.
Mengakhiri Uang Haram dari Freeport
Menuntaskan masalah yang begitu pelik semacam kasus freeport akhir-akhir ini tidak bisa ditangani dengan segudang perbincangan di layar lebar saja, tetapi membuktikan pengusutan suatu pelanggaran di freeport saja sudah susahnya minta ampun. Jangankan freeport yang gede itu bisa di usut tuntas masalahnya, soal yang semestinya mudah diatasi seperti skandal bank century, pencarian Nunun yang buronan kasus suap ( korupsi-pemilihan BI ), sampai pada mengatasi gejolak di perbatasan antara RI-Malaysa saja negara seakan tidak bisa berdiri tegak, nah apalagi pemerintah mau mengatasi masalah freeport yang sudah gelap sejak awal beroperasi di Papua. Semoga warga Papua mendapat nasib yang baik didalam Indonesia.
karakteristik freeport dalam menjalankan usahanya di dunia, termasuk Papua, akan selalu mempraktekkan tiga hal. Peratama, untuk menopang kelancaran usahanya perusahaan selalu memberi kenyang sejumlah politisi di negara setempat. Peranan politisi dan penguasa menerima suap tersebut agar senantiasa membela dan menjaga keberadaan perusahaan. Kelompok elit kekuasaan; pemerintahan berkuasa, partai politik dan para tokoh bangsa tak luput dari tradisi “suap” yang dilakukan oleh freeport. Kriteria pemberian suap kepada komponen tersebut tidaklah sembarangan, tetapi budaya tutup mulut dilakukan walaupun rezim suatu kekuasaan tidak tahu sedang di ” kurung ” secara sistematis melalui berbagai fasilitas berupa materi maupun dukungan politik tertentu. Kejayaan Suahrto selama 32 tahun lebih dapat diduga bagian dari dukungan amerika sebagai ucapan terimaksih mereka karena mantan presiden tersebut menerima kehadiran freeport di Indonesia. Begitu pula rezim selanjutnya pasca almarhum orde baru itu. Lihat saja gelagat Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono sekarang tidak tegas soal freeport. Bentuk-bentuk lips service politik tidak saja berupa uang tapi juga berupa jabatan komisaris. Mantan menkuham dan ketua komnasham pun di rektrut menjadi komisaris di freeport.
Kedua, prilaku perusahaan untuk kasi makan moncong senjata. artinya pemberian dana ilegal diluar ketentuan UU negara, merupakan hal biasa dan tentunya sudah merupakan kewajiban freeport. Bagi kita pemberian dana lauk pauk melanggar ketentuan peraturan negara tentang polisi, tetapi bagi manajemen perusahaan freeport indonesia menjadi keharusan bahwa aparat harus dikasi makan agar mudah dikendalikan. Pemberian kepada serdadu “moncong senjata” tidak saja kepada lembaga atau institusi resmi negara, tetapi kepada kelompok mana saja yang nota bene pegang senjata dan bikin kacau perusahaan, baik gerombolan pengacau seperti premanisme maupun struktur teritorial negara yang tidak terkomando. Pasal 2 UU N0.102 Kepolisian mengenai Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan, keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Nah, polisi terima uang dari freeport bisa saja ditambah bahwa fungsi polisi juga terima uang dari perusahaan?
Karakteristik ketiga adalah membangun agen dilapisan rakyat. Berupa pendirian lembaga, sampai pada pendirian organisasi adat untuk kasus Papua. Tragis sekali bila kita menguarai cara kerja sistematis yang selama ini diterapkan oleh freeport agar tetap aman. Pengelompokan warga pemilik hak ulayat kedalam tujuh suku merupakan bikinan freeport semata agar mudah dikendali. Terhitung ada puluhan suku di sekitar freeport. Yang tercatat saja seperti; Amungme, Kamoro, Mee, Ekari, Nduga dan Moni. Sedangkan masih ada suku lain yang belum diakomodir, seperti Dani atau Lanni dan penduduk di tebing freeport punya suku tersendiri lagi. Berhasil mengelompokan masyarakat adat, perusahaan freeport juga disinyalir membangun kelompok lembaga swadaya masyarakat ( LSM-gadungan ) baik di Timika maupun diluar Papua. Sogok menyogok kepada aktivis HAM dan Lingkungan juga tak terelakkan dilakukan oleh freeport. Misal saja, Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ) pada tahun 1996 membekukan cabangnya di Papua karena terindikasi aktivis walhi mendapat dana gelap dari freeport.
Seperti demikianlah, bila dirunut dari belakang hingga sekarang, lingkaran setan yang dibentuk FI masih saja eksis. Dimulai dari para penguasa, militer dan masyarakat sipil sudah menjadi tradisi yang terus dilakukan selama beroperasinya suatu freeport di wilayah mana dia ber-tambang. Lebih mengerikan lagi yang terjadi sekarang. Manajemen perusahaan justru cepat mencairkan dana keamanan ditengah tuntutan kenaikan upak pekerja yang sampai sekarang memblokir jalur di freeport.
Mengakhiri Uang Haram dari Freeport
pemberian uang haram dari freeport kepada institusi kepolisian dengan tujuan agar aparat keamanan turut memahami beban operasional yang harus dilakukan oleh perusahaan. Seperti yang dimuat dalam tulisan sebelumnya jumlah ini merupakan perkiraan throughput rata-rata harian yang diproses di fasilitas pabrik PT Freeport Indonesia dari tiap tambang yang berproduksi di tambang Grasberg, urutan hasil kadar bijih yang bervariasi di daerah pertambangan menyebabkan terjadinya fluktuasi dalam waktu pemproduksian bijih yang dihasilkan di berbagai penjualan kuartalan dan tahunan tembaga dan emas. Penjualan tembaga dari operasi pertambangan di Indonesia mencapai265,000,000 pounds tembaga dalam kuartal kedua 2011, dibandingkan dengan penjualan tembaga sebesar 259,000,000 pounds tembaga dalam kuartal kedua 2010, hal ini disebabkan terutama terlihat dalam masa pengiriman. Volume penjualan emas dari operasi penambangan Indonesia meningkat menjadi 330 ribu ons pada kuartal kedua 2011, bandingkan dengan 276.000 ons pada kuartal kedua 2010, perbedaan hal ini tercermin pada waktu sekuensingtambang di Grasberg.
Penjualan tembaga dari operasi pertambangan di Indonesia mencapai 543,000,000 poundstembaga untuk enam bulan pertama tahun 2011, dibandingkan dengan 555,000,000 poundstembaga untuk enam bulan pertama 2010, terutama mencerminkan nilai bijih tembaga yang lebih rendah. Volume penjualan emas dari operasi Indonesia kita meningkat menjadi 784.000 ons selama enam bulan pertama tahun 2011, bandingkan dengan 734.000 ons selama enam bulan pertama 2010, terutama mencerminkan waktu sekuensing tambang di Grasberg. Untuk tahun 2011, kami mengharapkan penjualan dari operasi pertambangan Indonesiamendekati 1,0 miliar pon tembaga dan 1,45 juta ons emas, bandingkan dengan 1,2 miliar pon tembaga dan 1,8 juta ons emas pada tahun 2010.
Alhasil, target yang ingin dicapai perusahaan menjadi anjlok. “Sejak aksi mogok berlangsung, produktivitas kami menurun 75 hingga 80 persen. Sulit untuk menormalkan kembali. Saat ini baru 5.000 karyawan yang sudah mulai bekerja sementara 6.000 karyawan lainnya masih mogok. Kami sangat tergantung pada jumlah karyawan,” demikian diakui Juru Bicara PTFI Ramdani Sirait saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Rabu (26/10/2011). Lebih lanjut, Ramdani mengatakan bahwa aktivitas penambangan yang berlangsung di Freeport baru sekitar 50 persen. Selain itu, dengan kondisi demikian manajemen telah mengumumkan status force majeure dalam kontrak penjualan tembaga dan emas kepada para pelanggan. Kondisi force majeure atau keadaan kahar merupakan kondisi di luar kontrol Freeport. Ini lantaran aksi mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia. Dengan status itu, menurut keterangannya, Freeport terhindar dari tuntutan hukum akibat melesetnya pemenuhan komitmen kontrak penjualan. Sementara itu, Juru Bicara Freeport McMoran Copper & Gold Inc, Eric Kinneberg mengumumkan status force majeure dalam kontrak penjualan tembaga dan emas kepada pelanggannya. Ini lantaran aksi mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia. ”Produksi konsentrat yang menurun telah berdampak pada kemampuan kami untuk memenuhi komitmen penjualan sehingga kami akan mengumumkan kondisi force majeure,” katanya, Rabu (26/10/2011).
Akhiri Manajemen Ekonomi “Tarzan” di Freeport. Sebab mata rantai sistem kapitalistik berbentuk tarzanisme seakan mirip dengan perjalanan ekonomi diera perbudakan yang masih belum mengenal orde pemajuan di segala lini kehidupan. Namun, sampai dunia abad ke-21 sekarang, karakteristik freeport yang bebas memberi uang serampangan membuktikan bahwa pola dan manajemen ekonomi purbakala masih menjadi tradisi sampai sekarang. Parahnya lagi, bila dibiarkan terus menerus, ekonomi tarzan yang dimaksud terus mempraktekan bentuk-bentuk kejahatan disegala lini. Sisi gelap uang haram perusahaan sudah nyata belum bisa diatasi, apalagi pada level kejahatan lainnya seperti ekologi, pelanggaran HAM dan pemenuhan hak sipol yang juga menjadi mandat pada pembangunan diera milenium sekarang, seakan menjadi mimpi saja.Menuntaskan masalah yang begitu pelik semacam kasus freeport akhir-akhir ini tidak bisa ditangani dengan segudang perbincangan di layar lebar saja, tetapi membuktikan pengusutan suatu pelanggaran di freeport saja sudah susahnya minta ampun. Jangankan freeport yang gede itu bisa di usut tuntas masalahnya, soal yang semestinya mudah diatasi seperti skandal bank century, pencarian Nunun yang buronan kasus suap ( korupsi-pemilihan BI ), sampai pada mengatasi gejolak di perbatasan antara RI-Malaysa saja negara seakan tidak bisa berdiri tegak, nah apalagi pemerintah mau mengatasi masalah freeport yang sudah gelap sejak awal beroperasi di Papua. Semoga warga Papua mendapat nasib yang baik didalam Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar