GORONTALO — Rencana alih status kawasan konservasi Nantu di Gorontalo dari suaka margasatwa menjadi taman nasional ditentang aktivis lingkungan hidup. Selain dikhawatirkan timbul konflik baru, Gorontalo dinilai masih kewalahan dalam mengelola taman nasional yang ada.
Rencana alih status tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo 2010-2030. Dalam Pasal 47 dicantumkan bahwa Nantu sedang diusulkan menjadi taman nasional promosi.
Suaka Margasatwa Nantu, Cagar Alam (CA) Panua, CA Tanjung Panjang, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone termasuk dalam rencana pengembangan kawasan lindung di Gorontalo.
Rahman Dako, aktivis dari Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam), sebuah organisasi nirlaba di bidang lingkungan di Gorontalo, mengemukakan bahwa kemampuan pemerintah mengelola kawasan lindung sangat terbatas. Apalagi, kawasan lindung di Gorontalo selalu identik dengan konflik.
Ia mencontohkan kasus alih fungsi lahan di CA Tanjung Panjang dan CA Panua menjadi pertambakan. Hingga kini kasus alih fungsi di kedua cagar alam itu menjadi pertambakan penyelesaiannya berlarut-larut.
”Saya khawatir jika Nantu menjadi taman nasional, akan timbul konflik baru. Sebab, ada masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam yang ada di Nantu dan jika sudah berstatus taman nasional ketergantungan mereka terancam,” kata Rahman, Selasa (17/1/2012), di Gorontalo.
Aktivis Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo, Mohammad Djufryhard, mengemukakan perlunya pembatasan atau zonasi yang tegas jika Nantu berubah status menjadi taman nasional. Zonasi itu harus mengakomodasi ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumber daya alam di Nantu.
Ia pun meyakini seandainya status taman nasional terhadap Nantu ditetapkan, bakal terjadi konflik kepentingan ekonomi warga sekitar Nantu dengan kepentingan konservasi.
”Ingat, pemerintah mengelola Taman Nasional Bogani Nani Wartabone saja sudah kewalahan dalam kasus alih fungsi menjadi pertambangan. Saya khawatir, jika Nantu menjadi taman nasional, alih fungsi menjadi pertambangan bakal terulang dan timbul konflik baru lagi,” ungkap Djufryhard.
Soal kemampuan sumber daya manusia, Kepala Seksi Konservasi Wilayah Gorontalo Sjamsuddin Hadju mengakui bahwa di Gorontalo kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola kawasan konservasi yang ada. Dari lima kawasan konservasi di Gorontalo, yaitu CA Tanjung Panjang, CA Panua, CA Tangale, CA Popaya Mas Raja, dan Suaka Margasatwa Nantu, hanya dijaga empat polisi hutan. Padahal, total luas seluruh kawasan tersebut sekitar 48.000 hektar.
”Jumlah petugas kami di lapangan yang berjaga di kawasan konservasi sangat jauh dari ideal. Seharusnya, setiap 2.000 hektar dijaga seorang petugas atau polisi hutan. Minimnya jumlah polisi hutan akan menyebabkan kawasan konservasi rawan dari ancaman pencurian hasil hutan, perburuan satwa langka, atau perambahan hutan,” kata Hadju.
Nantu, yang terletak di Kabupaten Boalemo, ditetapkan sebagai suaka margasatwa pada 1999 dengan luas sekitar 31.000 hektar. Di kawasan tersebut hidup berbagai macam satwa langka dan endemik, seperti babi rusa, tarsius, anoa, dan rangkong. Masyarakat juga memanfaatkan sebagian lahan kawasan Nantu untuk bercocok tanam padi dan palawija.(sumber;kompas)
0 komentar:
Posting Komentar