Selasa, 29 November 2011

"Di Mana Uangmu", Di Situ Hatimu

Ilustrasi                                   
Oleh A.A. Ariwibowo
Ingin mendengar bunyi gesekan lembar demi lembar uang kertas dari mesin "babi kepet" sebelum menyesaki saku kanan atau saku kiri? Ya, setelah mesin itu "tertawa", maka orang dapat tersenyum simpul seraya berbisik lirih, di mana uangmu berada, di situ hatimu bersemayam.
Hati punya suara, uang punya mau. Bukankah taklimat Forbes menuturkan bahwa dua bos Djarum menjadi sosok terkaya di Indonesia. Kekayaan kakak beradik Budi Hartono dan Michael Hartono melewati jumlah harta milik bos Gudang Garam Susilo Wonowidjojo ataupun bos Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja. Mereka diusung oleh media sebagai konglomerat uang.
Di mana konglomerat hati? Bila saja sang konglomerat berbisnis yang bersentuhan dengan layanan sosial misalnya rumah sakit atau sekolah atau perguruan tinggi, maka definisinya, uangmu adalah hatimu. Terpujilah engkau di antara onggokan uangmu.
Untuk sebuah definisi, pernyataan bahwa uangmu adalah hatimu, bermakna oke saja. Hatimu adalah uangmu, pernyataan ini juga oke. Alasannya, salah satu aturan membuat definisi ialah definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan. Misalnya, "hewan yang berakal budi" harus dapat dibolak-balikkan dengan "manusia".
Manusia adalah hewan yang berakal budi. Mengapa besaran kenaikan tarif rokok masih dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi industri rokok berskala kecil? Soalnya, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia memprotes kenaikan tarif cukai rokok yang ditetapkan pemerintah.
"Ini tidak adil, meskipun rata-rata tarif cukai sekitar 16 persen, faktanya kenaikan tarif bagi industri rokok kecil jauh lebih besar," kata Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susanto kepada Bisnis.
Manusia adalah hewan yang berakal budi. Mengapa dana bantuan sosial selama 2007-2010 yang hampir mencapai Rp300 trilyun justru lebih dominan dimanfaatkan bagi kepentingan politik kepada daerah petahana dan partai politik penguasa. Atas nama kekuasaan, mereka merangsek dana bansos untuk memenangi pemilihan umum, kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil.
Nah, kisah sukses konglomerat dari bos perusahaan rokok mengerucut kepada fatsun bahwa uang telah memberi mereka oksigen optimisme untuk melakukan apa yang mereka kehendaki. Orang yang optimistis mengharapkan hasil positif dan terus mengusahakan kesungguhan meskipun ada kekecewaan.
Sedangkan, kisah bansos yang ratusan trilyun itu memupus optimisme publik akan pengelolaan uang negara, lebih-lebih lagi pembalakan akan peradaban yang menjunjung nilai percaya diri, kuat secara emosi dan pantang menyerah. Ketiga nilai ini justru dimiliki dan dihidupi oleh para konglomerati hati untuk mendulang hoki sukses.
Bicara soal hubungan antara uang, kekuasaan dan pedagang, sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, punya catatan kurang menggembirakan hati. Di mata petani Nusantara, golongan pedagang dianggap sebagai setan, karena mereka dapat menyebabkan kelaparan dan malapetaka.
Ia mencontohkan, seorang pedagang kaya di desa disebut-sebut memiliki babi kepet atau tuyul untuk memperoleh kekayaan. Mereka menjadi soko guru dari sistem ijon. Dunia perdagangan lantas diiblis-ibliskan karena dikaitkan dengan perolehan kekayaan tidak senonoh.
Seorang bangsawan akan kehilangan martabat kebangsawanannya bila masuk ke arena dagang. Di Jawa, keluarga priyayi yang berdagang akan dipandang sebelah mata dan disebut secara sinis sebagai "ndoro bakulan".
Uang dan kekayaan dipandang sebagai mesin kekuasaan. Kekuasaan bagi pengelola dana bansos dan kekuasaan bagi mereka yang bertanggungjawab atas nasib perusahaan rokok berskala kecil. Kedua kekuasaan itu mengerucut kepada cara memandang tubuh.
Bagi konglomerat sukses, tubuh harus bekerja keras untuk menuai sebanyak mungkin pundi-pundi uang. Sednagkan, bagi mereka yang memanfaatkan dana bansos bagi kepentingan politik, tubuh dipandang sebagai tubuh-tubuh yang patuh (docile bodies) untuk memenangi kontestasi di gelanggang politik. Mengapa?
Di mata filsuf Rene Descartes, tubuh dipandang sebagai mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani (l`homme machine). Kesamaan tubuh dan mesin terjadi, jika tubuh meniru mesin, tulis F Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas.
Atas nama kepatuhan seperti mesin, kerapkali seseorang berbondong-bondong melakukan korupsi sebagai kelaziman. Mereka yang tidak ikut korupsi, tidak kebagian. Ikut ngedan, bila ingin memperoleh uang dan kekuasaan. Keblinger meski ngepop.
Dan Orde Baru punya ungkapan-ungkapan warisan yang laris manis di birokrasi jaman reformasi ini, dari kantor swasta sampai kantor pemerintahan. "Sesuai perintah atasan...", "demi suksesnya program...", "kalau dapur anda masih ingin mengepul terus", "demi rakyat banyak". Rakyat yang mana? Suksesnya siapa?
Di mana uangmu, di situ hatimu ujung-ujungnya sama sebangun dengan ungkapan ngetrend, "sudah sesuai prosedur". Masihkah berlaku optimisme bahwa manusia adalah hewan yang berakal budi? Sssttt...mesin penghitung uang terus beroperasi membidik tubuh-tubuh yang miskin nurani.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons