Rabu, 12 Oktober 2011

"Upah Minimum" Belum Jadi Jaring Pengaman

Upah minimum kabupaten/kota dan provinsi atau sektoral, seharusnya menjadi jaring pengaman untuk menahan buruh jatuh di bawah garis kemiskinan. Namun sistem itu belum berjalan, bahkan perusahaan sering menjadikannya sebagai upah maksimum.
Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Rekson Silaban, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (12/10/2011), mengatakan, seolah-olah jika membayar upah minimum pengusaha sudah mematuhi peraturan pemerintah.
"Upah minimum seharusnya hanya untuk mereka yang bekerja kurang dari setahun dan lajang. Buruh yang sudah bekerja lebih lama harus mendapatkan lebih dari upah minimum," ujarnya.
Sering pula upah minimum disalahartikan sebagai gaji keseluruhan atau take home pay.
Padahal upah minimum tidak termasuk bayaran lembur. Upah minimum adalah bayaran yang ditetapkan pemerintah sesuai rekomendasi dewan pengupahan tripartit. Rekomendasi tersebut ditetapkan, mengacu kepada kebutuhan paling minim di daerah itu.
"Masih lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia, telah membuat penerapan upah minimum tak berjalan sesuai ketentuan," ungkap Rekson.
Ia menambahkan, buruh banyak menerima upah berdasarkan kesepakatan ketimbang upah minimum. Akibat tingginya pengangguran di Indonesia, banyak buruh terpaksa menerima bayaran dibawah upah minimum asalkan masih bisa bekerja. Bayaran itu, menurut Rekson, diistilahkan sebagai upah mekanisme pasar.
"Sistem kapitalis tersebut harus segera dibenahi, agar buruh tak terus melarat. Maka sistem upah di Indonesia memang sudah seharusnya diubah, karena rentan dilanggar," ucap Rekson.
Sistem upah minimum juga menyamakan semua usaha. Pabrik yang melakukan ekspor disamakan dengan perusahaan domestik.
Koordinator Wilayah KSBSI Kalteng, Karliansyah, mengatakan, masalah upah minimum yang masih sering ditemui yakni, buruh tak memperoleh manfaat penuh kenaikan bayaran. Artinya, pengusaha membayar buruh lebih rendah dari upah minimum yang banyak dialami pekerja usaha kecil menengah.
"Masalah lain yaitu Bank Dunia mencatat bahwa kenaikan upah minimum tak menimbulkan efek nyata terhadap tingkat pengangguran. Lalu, penetapan upah minimum semakin sering digunakan sebagai alat popularitas politik yang dilakukan calon kepala daerah," kata Karliansyah.
Kepala daerah yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada), sering menaikkan upah minimum lebih tinggi daripada rekomendasi dewan pengupahan tripartit. Harapannya, suara buruh yang menjadi pemilih akan diperoleh. Akan tetapi, kebijakan itu tak selalu baik untuk buruh.
Sebab, meski upah minimum naik, banyak perusahaan yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Bahkan, tutur Karliansyah, perusahaan menghentikan rekrutmen pegawai baru. Dampaknya, hubungan industrial yang sudah terjalin baik bisa rusak.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons